Cerita ini memiliki beberapa kata yang mungkin terlihat asing karena merupakan pengembangan imajinasi dari penulis, untuk petunjuk lebih lengkapnya dapat diakses di: https://bit.ly/3Z380BS

“Kukatakan sekali lagi pada kalian, bumi itu nyata! Nenek moyang kita pernah tinggal di sana sebelumnya.”

Altair menghentakkan jarinya ke sebuah meja yang menampilkan kotak-kotak huruf transparan berkelip di atasnya, matanya memandang layar tipis berukuran 25 inci yang mengambang tepat di depannya. Kedua alisnya hampir bertautan, menunjukkan kekesalannya yang kian bertambah. Sebenarnya wajar saja jika teman-temannya tidak mempercayai keberadaan bumi di masa lalu, tidak banyak yang dapat membuktikan hal tersebut benar adanya. Jika saja Altair tidak menemukan buku peninggalan dari kakeknya beberapa tahun lalu, mungkin ia akan sama tidak percayanya dengan mereka semua.

Tapi ia menemukannya, sebuah buku catatan usang yang menceritakan bahwa sebelum ini spesies mereka pernah tinggal di sebuah planet biru yang disebut bumi. Itu mungkin sudah ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu, ketika pusat dari tata surya tempat bumi berada berubah menjadi raksasa merah dan menelan planet tersebut. Terdengar seperti sebuah cerita yang biasa diceritakan kepada anak-anak, namun Altair menolak menganggapnya demikian.

Setelah mengucapkan kata alsect close, hologram yang sejak tadi ia gunakan menyusut kemudian bersinar masuk ke dalam cincin yang tersemat di jari telunjuknya. Altair bangkit dari duduknya dan berjalan menuju netzech, alat pemindai retina mata yang terpasang di salah satu dinding kamar bernuansa abu-abu.

Setelah pemindaian selesai dilakukan, dinding tersebut perlahan bergeser, berganti dengan tampilan beberapa rak yang berjejer. Kebanyakan dari rak berisi berbagai jenis buku bacaan, sedangkan dua di antaranya berisi pakaian yang tergantung dengan rapi. Altair menjulurkan tangannya, meraih salah satu gantungan dengan jubah hitam yang terlampir di sana, kemudian memakainya.

Disaat rekan sebayanya sudah mulai beralih ke plannte, sebuah papan yang bisa melayang bebas di udara yang dapat dikendalikan dengan pemancar saraf dari sang pemakai, Altair masih setia dengan flycape usangnya tanpa peduli dengan perkataan orang sekitar. Baginya, asalkan nyaman dan belum begitu rusak, pasti akan ia pakai kapan saja.

Altair memandang keadaan kota di bawahnya, mencoba membandingkan dengan gambaran bumi yang pernah ia lihat di buku. Di sana tertulis jika bumi terdiri dari 70% perairan, sedangkan planet RX-5379 yang mereka tempati saat ini hanya memiliki sekitar 40% perairan saja. Namun perkembangan ilmu pengetahuan di planet ini sangatlah luar biasa, para ilmuwan berhasil menciptakan sistem daur ulang air yang benar-benar steril dan dapat digunakan untuk apapun. Begitu pula dengan makanan, mereka menciptakan villen, sebuah pil yang mengandung nutrisi lengkap dan setiap pilnya mampu membuat kenyang selama dua belas jam. Itu adalah perkembangan yang sangat berguna karena dari yang Altair ketahui, bumi hampir hancur karena pencemaran dari berbagai segi.

Untuk pasokan oksigen dan udara, para ilmuwan dapat mengembangkan satu bibit menjadi belasan pohon serta membudidayakan fitoplankton dalam jumlah yang tidak berlebihan. Di planet ini juga ada siang dan malam, dengan waktu satu hari mencapai 28 jam. Ah, planet ini juga memiliki bintang yang menjadi sumber energi dan poros tata suryanya seperti matahari di masa lalu, namanya adalah estrella. Dapat Altair simpulkan, dunia saat ini jauh lebih baik dan maju daripada bumi di masa lalu.

Sebuah kilauan dan getaran halus pada telunjuknya menarik perhatian Altair. Ia mengusap cincinnya, bermaksud menerima panggilan yang ia yakini berasal dari ayahnya. Benar saja, wajah ayahnya langsung terpampang dengan jelas di hadapannya, terlihat lelah namun tetap disertai dengan senyuman yang tak pernah sirna dari wajahnya.

“Masih memakai flycape jelek itu, heh?”

“Ayah tahu aku sangat tidak suka jika ada yang menghina barangku,” balas Altair.

“Hahahahah, tapi ayah yakin kamu akan senang mendengar berita ini.”

Sisi penasaran Altair membuncah begitu saja, menantikan dengan antusias tentang berita yang akan disampaikan oleh ayahnya.

“Kami menemukan sisa-sisa partikel dari planet yang dulunya disebut bumi, usianya sudah miliaran tahun sejak planet itu terbentuk. Itu berada di galaksi Bimasakti, seperti dugaanmu. Kau ingin melihatnya sendiri?” Terlihat wajah ayahnya mengecil, membuat jarak dengan monitor hologramnya, memberi ruang untuk menunjukkan sesuatu yang disebutnya partikel bumi.

Altair sontak merekahkan senyumnya lalu mengangguk dengan penuh semangat. “Tentu saja, aku emang berniat untuk pergi ke sana.”

“Hati-hati, nak. Jangan sampai menabrak gedung seperti terakhir kali karena kamu begitu bersemangat, proses perbaikan flycape tidaklah mudah,” ujar ayahnya disertai tawa yang begitu renyah.

“Ayah lebih mengkhawatirkan flycape-ku rupanya,” balas Altair dengan kekehan sebelum sang ayah mematikan panggilannya.

Setelah sampai di gedung penelitian ayahnya, Altair menutup fungsi gantole di jubahnya, membiarkan jubah hitam itu tergantung pada bahunya. Sebenarnya ia bisa saja langsung mendarat di ruangan ayahnya karena ia punya akses khusus untuk dapat masuk ke sana, namun rasanya akan menjadi sangat tidak sopan jika ia melakukan hal tersebut.

Di sinilah ia, berdiri dengan beberapa ilmuwan yang bekerja dengan ayahnya dalam sebuah ruangan yang terbuat dari kaca dan merespon setiap sapaan yang mereka layangkan. Mereka menyebutnya elevt, alat yang akan mengantarkan mereka ke lantai yang dituju. Elevt ini berada di sudut gedung, mengarah ke luar sehingga orang yang berada di dalamnya dapat melihat pemandangan perkotaan.

Seusai melakukan pemindaian netzech, Altair mulai memasuki ruangan kerja ayahnya, matanya tidak pernah berhenti berbinar saat melihat berbagai benda menakjubkan yang berada di sana walaupun sudah berulang kali ia melihatnya. Ia mendekat ke arah ayahnya yang sedang mengotak-atik sesuatu, di depannya tampak sesuatu seperti bongkahan tanah berbatu yang melayang di atas meja anti gravitasi.

“Siang Ayah, ini yang Ayah ceritakan kepadaku tadi?” Binar dan senyumannya tidak dapat membohongi seberapa antusiasnya ia saat ini.

Ayahnya menoleh, tampak tidak begitu terkejut dengan keberadaan anaknya yang sudah terlampau sering keluar masuk dari ruangannya. “Benar Al, ini bagian dari bumi yang ayah dan peneliti lain temukan. Kami sudah memeriksa kecocokannya dengan semua data yang ada, hasilnya luar biasa tepat. Butuh waktu dan usaha yang tidak sedikit untuk dapat menemukan sebongkah tanah ini.”

“Bagaimana dengan makhluknya? Apa Ayah bisa menemukan tanda-tanda kehidupan sebelumnya dari tanah tersebut?” Pandangan Altair tidak sedikit pun teralih dari benda itu, sesekali ia menyentuhnya, memunculkan hologram jendela informasi terkait temuan tersebut.

“Sayangnya itu belum dapat dipastikan, sudah cukup lama sejak bumi dinyatakan hancur, kau ingat apa penyebabnya?”

Altair menoleh kemudian mengangguk. “Tentu saja, itu terjadi saat bahan bakar termonuklir matahari, yaitu hidrogen, menipis di intinya, lalu selubung luar matahari mulai mengembang. Evolusi itu menyebabkan matahari kehilangan massa dalam jumlah yang signifikan, yang berarti orbit bumi juga akan meluas. Namun, orbit bumi yang baru tidak cukup besar untuk menghindari interaksi dengan matahari yang mengembang hingga akhirnya bumi diuapkan atau ditelan oleh pusat tata suryanya sendiri. Aku sudah mempelajari itu bertahun-tahun, Ayah.”

“Anak Ayah memang sangat pintar, tapi apa kamu tahu, matahari sekarang sudah menjadi nebula?”

“Ayah bercanda? Apa mungkin setelah mengembang dan menghancurkan tata suryanya, matahari itu mati kemudian menyusut menjadi nebula?” Fokusnya kini teralih sepenuhnya, ia menatap ayahnya dengan binar yang menunjukkan antara perasaan bingung dan penasaran.

“Itu mungkin saja, Al. Saat bintang mati, maka bintang itu akan mengeluarkan massa gas dan debu, dikenal sebagai selubung, ke luar angkasa. Itu bisa mencapai setengah massa bintang. Ini mengungkapkan inti bintang, yang pada titik itu kehidupan bintang sedang berjalan kehabisan bahan bakar, menjadi padam dan sebelum akhirnya mati, inti panas membuat selubung yang dikeluarkan bersinar terang selama puluhan ribu tahun. Peristiwa itu merupakan periode yang singkat dalam astronomi, namun tentunya tidak bagi makhluk hidup,” jelas ayahnya.

“Aku mengerti ... jadi akan sangat sulit untuk menemukan tanda-tanda kehidupan di sana, ya. Tapi tidak apa, Ayah. Usaha Ayah sudah sangat hebat hingga dapat menemukan sisa dari bumi itu, aku sangat bangga menjadi anak ayah.” Altair menunduk lalu langsung mengangkat kepalanya kembali, menunjukkan senyuman. Ia tidak berbohong saat mengatakan bahwa dirinya sangat bangga dan menyayangi ayahnya.

Orion, ayah dari Altair, mengusap rambut anaknya dengan senyuman yang tulus, berucap dalam hatinya bahwa ia juga sangat bangga memiliki Altair. Diam-diam, ia seringkali merasa bersalah pada anaknya. Dimana ia seharusnya dapat menjadi sosok orang tua yang baik setelah istrinya, Alula, meninggal dunia. Namun, dirinya justru menenggelamkan diri dalam penelitian demi planet yang mereka tempati dan hanya memiliki sedikit waktu untuk bersantai dengan Altair. Panggilan dari Altair membuyarkan pikirannya, ia kembali memfokuskan atensinya kepada sosok yang paling ia sayangi.

“Bulan depan usiaku sudah lima belas tahun, apa aku boleh melakukan perjalanan ke luar angkasa?” Altair beranjak mendekat ke arah monitor yang menunjukkan keadaan luar angkasa, cukup pintar untuk tidak menyentuh apapun yang dapat berpotensi menggangu kinerja alat tersebut.

Ketertarikannya pada luar angkasa bukanlah hal baru, sejak lahir ia sudah hidup di lingkungan dengan segala macam pembahasan tentang astronomi, membuatnya dapat mengetahui banyak hal yang tidak diketahui oleh manusia lain. Ditambah dengan profesi ayahnya yang seorang petinggi di organisasi ilmuwan planet tersebut, Altair sudah terbiasa membantu ayahnya merakit ataupun membuat sendiri penemuan-penemuan luar biasa yang berguna untuk kehidupan umat manusia di sana.

“Altair, Ayah tahu kamu anak yang sangat jenius, tapi perjalanan ke luar angkasa memiliki banyak resiko. Ayah tidak akan melarangmu jika kamu sekiranya sudah berusia lebih dari delapan belas tahun atau jika kamu sudah benar-benar siap untuk melakukannya.”

“Tiga tahun lagi? Aku akan berusaha untuk itu, Ayah!” ucap Altair bersungguh-sungguh, ia menanamkan janji pada hatinya untuk berusaha dan berjuang sampai ia layak untuk pergi ke luar angkasa seperti mimpinya selama ini.

──────────────❪ ⚝ ❫──────────────

Altair memandang gedung tinggi di depannya, ini mungkin adalah hari terakhirnya untuk dapat melihat gedung itu setelah beberapa tahun menerima pelatihan intensif dari sana. Tubuhnya sedikit membungkuk, memberi penghormatan sekaligus diam-diam mengucapkan terima kasih yang mendalam. Tubuhnya menegak dan kepalanya menoleh, melihat ayahnya yang beberapa tahun terakhir tidak pernah ditemuinya datang dengan menaiki kubah transparan, tawanya seketika berderai.

“Kendaraan apa yang Ayah ciptakan selama aku pergi?” Altair berujar sembari menghampiri ayahnya, berniat menggoda.

“Apa itu kalimat pertama yang kamu ucapkan pada ayahmu yang baru bertemu setelah lebih dari tiga tahun?” tanya Orion dengan nada bicara yang dibuat merajuk.

“Ayolah, Ayah tahu aku sangat merindukan Ayah.”

“Kemari, berikan Ayah pelukan terbaikmu.” Tangannya merentang, mempersilakan Altair untuk menghambur ke dekapannya.

Tidak perlu waktu lama bagi kedua insan tersebut untuk saling berbagi pelukan dengan usapan hangat di punggung keduanya, sarat akan kerinduan dan kasih sayang.

“Kau tinggi sekali sekarang, dahulu kau hanya sebahuku. Kau tidak mengonsumsi hal yang aneh, kan?” Orion mengacak rambut belakang Altair sebelum meregangkan pelukannya, ucapannya mengarah pada obat-obatan ilegal yang biasa dikonsumsi untuk meningkatkan fisik dan kemampuan, sempat banyak digemari oleh berbagai kalangan namun memiliki efek samping yang dapat menghancurkan tubuh pengguna.

“Curiga sekali, pengawasan di tempat ini sangat ketat, Ayah.” Ibu jari Altair bergerak menunjuk ke belakang, mengarah ke gedung biru cerah yang menjulang, sebuah bangunan dengan keamanan dan pengawasan tingkat tinggi yang disebut sebagai pusat pelatihan untuk para angkasawan.

“Kau ada benarnya. Ayo pulang, kau pasti bosan hanya memakan villen saja selama ini.”

“Ayah benar, walau villen itu memiliki berbagai rasa, tetap saja membosankan.” Altair menunduk, mengusap perutnya yang merindukan masakan dengan tampilan dan rasa yang normal.

Homaid kita jauh lebih canggih sekarang, masakannya sangat luar biasa.” Orion meraih bahu Altair, bermaksud merangkul kemudian mengajak Altair memasuki kubah yang disebut flydome, alat baru yang ia ciptakan beberapa bulan lalu dan masih dalam tahap uji coba sehingga belum banyak beredar.

“Wah, aku sangat tidak sabar merasakannya.”

Altair memandang sekelilingnya, penemuan ayahnya selalu menakjubkan, jarinya mengetuk dinding kubah yang mereka naiki saat ini, bertanya-tanya jenis kaca apa yang ayahnya gunakan hingga mereka tidak merasa panas ataupun silau oleh sinar estrella. Bagian menarik lainnya, flydome dapat dikendalikan secara otomatis, hanya perlu menyebutkan lokasi dan mengonfirmasinya saja maka flydome dapat segera menuju lokasi tersebut dengan tepat.

“Luar biasa, kan? Dari luar, mereka tidak bisa melihat apa yang kita lakukan di dalam, kacanya bisa memburam otomatis jika ada yang memasuki kubahnya. Kita juga bisa mengontrol jumlah panas yang masuk, cukup sejuk bukan di dalam sini?”

Bola mata Altair melebar, merasa tertarik dan kagum dengan setiap penemuan yang diciptakan ayahnya. “Luar biasa sekali, Ayah.”

“Ayah hampir lupa, tangkap ini.” Tangan Orion merogoh sakunya, mengeluarkan benda yang sejak beberapa tahun lalu selalu ia jaga dengan baik.

Lengan Altair refleks terangkat, menangkap kotak kecil berwarna silver yang dilemparkan ayahnya. Dahinya mengernyit, mencoba menerka apa isi dari kotak tersebut.

Alsect! Ayah masih menyimpannya?”

“Kau menitipkannya sebelum pergi ke pusat pelatihan, mana mungkin tidak Ayah simpan. Fiturnya menjadi sangat ketinggalan jaman sekarang, kau bisa meningkatkannya sendiri nanti, Ayah akan menyediakan peralatannya.”

“Terima kasih banyak, Ayah.” Senyumnya melebar, lagi-lagi mensyukuri betapa beruntungnya ia memiliki sosok ayah seperti Orion.

Altair meraih alsect dari kotaknya, memakainya di telunjuk lalu mengusapnya, seketika di depannya terlihat layar tipis yang agak transparan. Jarinya menggulir layar tersebut, tersenyum melihat beberapa teman mengirimi pesan dan menanyakan keadaannya. Tak berselang lama, ia teringat dengan sesuatu, membuatnya kembali menoleh ke arah Orion.

“Ayah, bagaimana sekarang?”

──────────────❪ ⚝ ❫──────────────

“Altair, kau yakin untuk melakukan ini?” Orion menatap anaknya dengan perasaan cemas yang kentara.

“Rasanya Ayah sudah menanyakan hal itu jutaan kali, aku akan baik-baik saja.” Altair mengusap punggung ayahnya, berniat menenangkan.

“Ayah akan ikut denganmu.”

“Aku mengerti kekhawatiran Ayah, namun aku sudah dilatih bertahun-tahun untuk hal ini, aku sudah lebih dari siap.” Altair masih belum menyerah untuk meyakinkan ayahnya, ia sendiri yakin dengan kemampuannya saat ini, bahkan ia sudah mendapat sertifikat resmi dan lulus dengan nilai terbaik dari pusat pelatihan.

“Dengan Ayah atau tidak sama sekali,” putus Orion dengan sebelah tangan yang terangkat, menegaskan jika ucapannya mutlak dan tidak menerima bantahan.

“Ayah??” Altair bergerak menjauh, menatap ayahnya dengan tidak percaya. “Apa maksud Ayah? Aku sudah cukup dewasa dan siap untuk tugas ini, Ayah sendiri yang mengatakan bahwa tidak akan melarangku melakukan perjalanan ke luar angkasa setelah usiaku delapan belas tahun, tapi apa sekarang?”

“Alt—”

“Sudahlah, Ayah atur saja semau Ayah. Aku kecewa dengan Ayah.” Altair beranjak, berniat untuk menuju ruang ganti pada gedung peluncuran tersebut.

Tatapannya memang terarah pada setelan khusus luar angkasa yang tergantung, namun pikirannya sedang tidak ditempat. Ini adalah sebuah kesempatan yang ia tunggu sejak lama, mengapa ayahnya begitu keras kepala hingga merusak kesenangannya. Tidak, Altair tidak membenci Orion, ia hanya kesal dengan keputusan ayahnya yang seolah tidak percaya bahwa ia mampu untuk melakukan perjalanan itu.

Menyudahi pikirannya, fokusnya kembali kepada setelan di depannya. Ia mencermati setiap detail yang berada di sana, memastikan tidak ada sesuatu yang akan membuat ia dan ayahnya memilki masalah selama perjalanan nanti. Altair akan berangkat dengan rymdraket, kendaraan peluncuran canggih yang diciptakan oleh para ilmuwan khusus yang sudah meraih gelar ahli perakitan roket. Ia tidak perlu memastikan tentang hal itu karena sudah ada petugas yang memeriksanya dengan teliti.

Di dalam ruang kendali rymdraket, Altair bertemu dengan Orion. Keadaannya cukup canggung karena mereka tidak saling bertegur sapa, membuat Altair memilih untuk duduk dan memasang pengaman, membiarkan ayahnya yang mengatur peluncuran roket tersebut. Misi mereka adalah pergi menuju planet tetangga yang belum lama ini mulai diteliti oleh para ilmuwan lain.

“Kau tahu tentang hukum kekekalan momentum? Itu adalah hukum yang sudah ada lama sekali, dan berasal dari seseorang yang hidup di planet kita sebelumnya, Sir Isaac Newton. Hukum tersebut masih diterapkan pada rymdraket. Pada keadaan awalnya roket dan bahan bakar diam, sehingga momentumnya sama dengan nol. Sesudah gas menyembur keluar dari roket, momentum sistem tetap sehingga momentum sistem sebelum dan sesudah gas keluar adalah sama,” ucap Orion memecah keheningan setelah mereka sudah keluar dari orbit RX-5379.

Altair tidak merespon apapun tapi atensinya terfokus pada Orion, memperhatikan setiap hal yang ayahnya ucapkan dan mencoba menerka ke mana arah pembicaraan.

“Bahan bakar rymdraket berasal dari hidrogen cair dan oksigen cair. Sekitar belasan tahun lalu, kedua unsur ini masih cukup sulit untuk dikembangkan di planet kita, sebatas untuk bernapas dengan tenang saja sudah harus bersyukur. Tapi saat itu keadaannya terdesak, kubah atmosfer buatan bocor di beberapa titik, membuat oksigen berkurang dengan drastis ....” Penurunan nada bicara terdengar sangat kentara saat akhir kalimat, disertai dengan ekspresi Orion yang menyendu.

“Alula, ibumu, mengajukan diri untuk menjadi orang yang memperbaikinya, ia memang seorang antariksawan yang penuh dengan rasa penasaran dan menyukai tantangan, membuat keputusannya sulit untuk didebat, padahal saat itu kami memilikimu yang bahkan belum berusia dua tahun. Perlu kamu ketahui, Ayah memberi tahu ini bukan agar kamu membenci ibumu, dia sangat menyayangimu lebih dari apapun.”

“Ayah bilang ibu meninggal karena kecelakaan tunggal, tapi apa yang baru saja aku dengar ini?” Altair mengajukan pertanyaan setelah lama terdiam.

“Itu bukan sepenuhnya kebohongan. Roket yang dinaiki ibumu ternyata bermasalah, membuat bahan bakarnya lekas menguap, hingga roket tersebut tidak dapat dikendalikan dan keluar dari jalur peluncuran. Ayah kehilangan kontak dengan ibumu sejak saat itu.”

“Apa Ayah yakin itu bukanlah kasus sabotase?”

“Yakin, Ayah ikut serta dalam penyiapan peluncuran itu, termasuk memeriksa bagian-bagian roketnya.”

“Ayah, maafkan Altair. Seharusnya aku mengerti alasan Ayah melarangku untuk melakukan perjalanan ini seorang diri adalah karena Ayah tidak ingin kehilangan aku.” Altair mengatur kursinya untuk mendekat, melepas pengaman pada bagian dada dan memeluk ayahnya erat.

“Tidak apa, Ayah juga salah karena menyembunyikan hal ini darimu.”

”... Ayah? Ayah bilang alien itu tidak nyata bukan?” ucap Altair tiba-tiba, pandangannya terpaku pada jendela bulat yang berada tak jauh di belakang ayahnya.

“Tentu saja, kami sudah melakukan penelitian puluhan tahun dan belum menemukan bukti yang nyata tentang makhluk itu.”

“Lalu ... siapa yang menyeringai di jendela belakang Ayah?”

@Sanjasegara